“Pembusukan Otak” (Brain Rot), Akibat dan Solusi.

Ilustrasi kecanduan HP

Penulis : Marianus Toge, S.Pd.

         Pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221 juta jiwa dari total populasi 278,7 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023, menurut Survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024. Penetrasi internet di Indonesia mencapai 78,19% ditahun 2023. Dilihat dari jenis kelamin pengguna internet perempuan (49,7%) sementara laki-laki (50,3%). Sementara dari segi umur, orang yang berselancar di dunia maya ini mayoritas adalah Gen Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 34,40%. Lalu, berusia generasi milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 30,62%. Kemudian berikutnya, Gen X (kelahiran 1965-1980) sebanyak 18,98%, Post Gen Z (kelahiran kurang dari 2023) sebanyak 9,17%, baby boomers (kelahiran 1946-1964) sebanyak 6,58% dan pre boomer (kelahiran 1945 ke bawah) sebanyak 0,24%.

          Hal ini menjelaskan bahwa penggunaan internet bagi generasi Z merupakan hal yang lumrah dan tidak dapat dinafikan. Penetrasi internet yang dalam tentu memiliki korelasi terhadap penggunaan internet dan media sosial yang tinggi. Hal ini dapat ditunjukan dari data yang disajikan APJII yang dirilis 7 Februari 2024. Dengan penggunaan internet yang tinggi pasti pula diikuti oleh berbagai dampak buruk penggunaannya, apalagi dalam dunia Pendidikan. Dan salah satu dampak burukl itu adalah brain rot.  

         Brain Rot  sendiri digunakan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya Walden pada 1854 untuk mengkritik masyarakat yang cenderung menghindari pemikiran mendalam dan lebih memilih hal-hal dangkal. Thoreau melihat fenomena ini sebagai tanda penurunan daya mental dan intelektual. (https://www.gutenberg.org/files). Oleh Oxford University Press (OUP) istilah brain rot dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year 2024. Istilah ini mendapatkan suara dari lebih dari 37 ribu orang di seluruh dunia. Sebenarnya ap aitu brain rot? Brain rot digambarkan sebagai kemerosotan kondisi mental atau intelektual seseorang, terutama akibat konsumsi berlebihan konten daring yang dianggap remeh atau tidak menantang. Dalam istilah gaul brain rot atau “pembusukan otak” adalah  kecanduan terhadap konten digital yang berkualitas rendah. Istilah ini juga dapat merujuk pada efek negatif yang disebabkan oleh penggunaan media digital secara berlebihan. 

         Menggulir platform media sosial akan meningkatkan dopamin neurokimia, zat yang menghasilkan perasaan puas dan senang Semakin sering melakukannya, semakin kamu ingin melakukannya. Perasaan bahagia dan senang ini yang terus menrus menstimulus otak untuk melakukan hal itu terus menerus (https://www.siloamhospitals.com).  Otak yang mengasosiasikan scrolling dengan perasaan puas, bahkan ketika tidak sadar akan konsekuensi negatifnya, dapat menyebabkan kecanduan. Ibarat kita kalau jatuh cinta itu seperti kecanduan, maka putus cinta itu seperti sakau (withdrawal syndrome).

        Fenomena ini disebabkan oleh penggunaan teknologi yang berlebihan, bisa dengan menonton video-video pendek di YouTube, scrol media sosial Instagram, tiktok, x dan lain-lain. Selain itu, menjelajahi Internet, membalas atau mengirim pesan whatsapp atau berkomentar dalam media sosial. Hasil akhirnya, kamu terlalu banyak menstimulasi otak dan berisiko mengalami “brain rot”.

        Istilah ini menjadi semakin penting karena menangkap kekhawatiran masyarakat tentang dampak konsumsi konten online berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan, terutama di media sosial.  Ada narasi yang berkembang dewasa ini generasi z kurang trampil dalam komunikasi, Rinanti Nur Hapsari, (Rinanti dkk, 2024). Brain Rot di era digital tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga berpotensi merusak fungsi otak secara keseluruhan. Brain Rot dapat menjadi pemicu disfungsi kognitif dan emosional, yang berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup. Ahmad Baihaqi, dkk   dalam Mengurai Paradoks Persepsi dan Stigma Seputar Gen Z  dalam Whiteboard Journal.

        Menurut Elsi Yuliyanti, 2025, dampak dari brain rot antara lain: pertama; Kemundururan kognitif, paparan konten instan secara berlebihan menurunkan kemampuan otak untuk memproses informasi kompleks. Ini mengurangi daya analisis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Pemecahan masalah yang rumit menjadi sangat melelahkan dan membosankan. Kedua; Gangguan Emosi, overstimulasi dari konten visual dan auditori memperburuk pengaturan emosi. Pengguna menjadi lebih mudah cemas, depresi, atau bahkan agresif. Paparan berulang terhadap konten yang merangsang adrenalin membuat otak sulit mengatur ulang kondisi tenang. Ketiga; ketergantungan pada Dopamin Instan, konten berkualitas rendah sering kali dirancang untuk memicu pelepasan dopamin sesaat, menciptakan efek kecanduan. Ini mengurangi motivasi untuk mencari sumber kesenangan yang lebih bermakna, seperti belajar atau berinteraksi sosial nyata.  Keempat; Pengaruh pada Perkembangan Anak dan Remaja, Otak yang sedang berkembang sangat rentan terhadap dampak negatif brain rot. Anak-anak dan remaja yang terlalu banyak terpapar konten instan mungkin mengalami gangguan perkembangan sosial, kesulitan membentuk identitas diri, dan penurunan kemampuan belajar.

         Dalam konteks Pendidikan, brain rot dapat menyebabkan penurunan motivasi belajar pada siswa. Nur Islamiah M. Psi., PhD, psikolog dari IPB menjelaskan bahwa; Siswa yang terbiasa dengan konsumsi informasi instan cenderung kehilangan minat dalam tugas akademik yang membutuhkan usaha lebih, seperti membaca materi panjang atau memecahkan soal yang kompleks. Mereka lebih memilih aktivitas yang memberikan kepuasan instan dibandingkan proses belajar yang memerlukan ketekunan. Akibatnya, motivasi intrinsik untuk belajar menurun, karena mereka merasa lebih sulit dalam mengikuti proses pembelajaran yang lebih yang berdurasi lama dan mendalam. Ketika otak terus-menerus menerima rangsangan dari media sosial atau konten hiburan, aktivitas belajar yang lebih statis terasa membosankan dan kurang menarik, Jika tidak diatasi, kondisi ini dapat berujung pada rendahnya keterlibatan dalam proses belajar, kesulitan dalam memahami materi, penurunan prestasi serta peningkatan stres dan kecemasan terkait tugas akademik. Hal tersebut diperparah dengan berkurangnya kemampuan reflektif. Siswa menjadi kurang mampu memahami tujuan jangka panjang dari belajar dan lebih fokus pada kepuasan jangka pendek.

         Hal ini biasanya dapat terlihat dari aktifitas yang ditimbulkan pada diri anak remaja. Ditandai dengan kesulitan berkonsentrasi, sulit fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan perhatian mendalam, sering kali disertai kebiasaan multitasking yang kurang efektif. Disorientasi mental, kesulitan memahami konteks situasi atau lingkungan, sehingga mudah merasa bingung. Gangguan memori,  menurunnya kemampuan untuk menyimpan informasi jangka pendek, terutama untuk hal-hal yang baru terjadi. Penurunan perawatan diri, rutinitas dasar seperti makan teratur, menjaga kebersihan tubuh, atau tidur cukup menjadi terabaikan. Perubahan emosi yang tidak stabil, mudah tersinggung, merasa cemas tanpa alasan jelas, atau bahkan kehilangan motivasi terhadap hal-hal yang dulu disukai. Kesulitan bersosialisasi, mengurangi interaksi tatap muka, merasa canggung saat berada di lingkungan sosial, hingga berisiko mengalami isolasi sosial. Kemampuan pengambilan keputusan melemah, sulit mempertimbangkan pilihan secara rasional dan cenderung mengambil keputusan secara impulsif tanpa pertimbangan matang.

         Perilaku brain rot dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya anak dan remaja tetapi juga orang dewasa, pertama; bermain video game, meskipun bermain game dapat dilakukan tanpa kecanduan, tetapi beberapa gamer bermain secara kompulsif dan mengalami gangguan permainan. Terpesona oleh dunia alternatif video game, karakter yang fantastis, dan plot yang rumit, bisa membuat kamu mengalami kesulitan untuk berfungsi di bidang kehidupan lainnya. Kedua; berselancar di dunia maya tanpa tujuan, perilaku ini mengacu pada kebiasaan menggulir tanpa berpikir, tanpa tujuan, atau tanpa manfaat yang didapat. Saat melakukan zombie scrolling, kamu menatap ponsel pintar dengan kosong saat berpindah dari satu feed ke feed lainnya tanpa menangkap maksud yang disampaikan kreator. Ketiga; menelusuri media terus menerus, perilaku ini melibatkan pencarian informasi yang menyedihkan dan berita negatif karena merasakan keinginan yang luar biasa untuk mengetahui informasi terbaru, bahkan ketika informasi tersebut mengganggu. Keempat; kecanduan Media Sosial, perilaku ini ditandai dengan keinginan yang terus-menerus untuk memeriksa media sosial dan perasaan gelisah ketika mencoba menghentikan kebiasaan tersebut. Ini membuat pengguna tidak bisa berhenti memeriksa platform seperti YouTube, Instagram, x dan TikTok.

         Mencegah brain rot membutuhkan kesadaran mengenai penggunaan media sosial. Dekan fakultas kedokteran UMS, Dr. dr. Flora Ramona Sigit Prakoeswa, M.Kes, Sp.D.V.E. menjelaskan; (1) Detoksifikasi digital: Mengurangi secara bertahap penggunaan gadget dan menggantinya dengan aktivitas produktif, (2) Konseling psikologis: terutama jika sudah muncul gejala seperti kecemasan atau depresi, (3) Terapi perilaku kognitif (CBT): untuk membantu mengatasi pola pikir dan perilaku yang mendukung kecanduan gadget, (4) Dukungan keluarga: keluarga perlu terlibat aktif dalam membantu seseorang mengelola waktu layar mereka. Para ahli sepakat bahwa pencegahan terhadap brain rot adalah dengan pembatasan waktu penggunaan medsos, cari hobby di dunia nyata, bersosialisasi dengan dunia luar.

         Prof. (Dr) Shailesh Mishra, 2024, dalam penelitiannya, untuk memerangi brain rot,langkah-langkah proaktif dapat diambil sebagai berikut: Detoksifikasi Digital Beristirahatlah secara teratur dari teknologi dapat membantu meremajakan fungsi kognitif dan meningkatkan daya ingat dan konsentrasi. Latihan Perhatian penuh: Terlibat dalam latihan perhatian penuh seperti meditasi dan latihan pernapasan dalam dapat meningkatkan kejernihan mental dan pengaturan emosi. Latihan kognitif: Mengejar aktivitas yang meningkatkan keterlibatan kognitif, seperti teka-teki, membaca, atau mempelajari keterampilan baru, dapat membantu menjaga kesehatan kognitif. Menetapkan batasan: Membatasi penggunaan teknologi, terutama selama interaksi sosial dan sebelum tidur, dapat mengurangi rangsangan berlebihan dan meningkatkan kejernihan mental. Tetap aktif secara mental: Terlibat dalam aktivitas yang merangsang intelektual yang menantang otak. Mempelajari keterampilan baru, membaca, atau memecahkan teka-teki dapat meningkatkan fungsi kognitif.

          Berolahraga secara teratur: Aktivitas fisik sangat penting untuk kesehatan otak, karena meningkatkan neurogenesis dan fungsi kognitif secara keseluruhan. Prioritaskan tidur: Menetapkan jadwal tidur yang teratur dapat secara signifikan meningkatkan kinerja kognitif dan pengaturan emosi. Konsumsi Makanan seimbang: Makanan padat nutrisi yang kaya akan vitamin dan asam lemak omega-3 mendukung kesehatan otak. Kelola stres: Teknik seperti meditasi, yoga, dan perhatian penuh dapat mengurangi efek stres pada fungsi kognitif. Tetap terlibat dalam pergaulan sosial: Menjaga hubungan dan interaksi sosial dapat memperkuat kemampuan kognitif dan memberikan dukungan emosional. Melakukan tindakan medis: Individu yang mengalami penurunan kognitif yang signifikan harus berkonsultasi dengan profesional perawatan kesehatan untuk penilaian dan intervensi.

         Senada disampaikan Prof (Dr) Shailesh Mishra, Nur Islamiah M. Psi., PhD  menyatakan: jika tidak diatasi, kondisi ini dapat berujung pada rendahnya keterlibatan dalam proses belajar, kesulitan dalam memahami materi, penurunan prestasi serta peningkatan stres dan kecemasan terkait tugas akademik. Untuk mengatasi dampak brain rot terhadap fokus dan daya tahan berpikir siswa, Mia menyarankan metode pembelajaran perlu dibuat lebih menarik dan melibatkan mereka secara aktif dengan; pembelajaran berbasis proyek (project-bassed learning), yakni siswa diajak untuk menyelesaikan masalah nyata dengan mencari solusi secara mandiri. Dengan metode ini, mereka tidak sekadar menerima informasi, tetapi juga belajar berpikir kritis, menghubungkan ide, dan memahami materi secara lebih mendalam. Diskusi terbuka dan refleksi juga bisa membantu siswa terbiasa memilah dan menganalisis informasi, sehingga mereka tidak mudah percaya begitu saja pada segala informasi yang mereka temui di internet.

         Supaya belajar terasa lebih menyenangkan, metode gamifikasi yaitu proses belajar dengan menerapkan elemen permainan (game) bisa diterapkan. Misalnya dengan pemberian tantangan, sistem pemberian poin, atau penghargaan untuk mendorong motivasi siswa tanpa bergantung pada kesenangan instan dari media sosial. Opsi lain yang bisa dilakukan adalah latihan fokus seperti teknik mindfulness dan manajemen waktu, juga bisa membantu siswa mengendalikan distraksi dan meningkatkan konsentrasi. Mindfulness melatih siswa untuk lebih sadar terhadap apa yang sedang mereka lakukan, misalnya dengan fokus penuh pada satu tugas dalam satu waktu, mengambil jeda untuk bernapas sebelum beralih ke tugas lain, atau menggunakan teknik pomodoro, yakni belajar selama 25 menit, lalu istirahat 5 menit, teknik ini dapat dilakukan sebanyak 2-5 sesi sesuai kebutuhan. Selain itu, manajemen waktu akan membantu siswa mengatur jadwal belajar yang efektif, seperti menentukan prioritas tugas, menghindari multitasking yang tidak perlu, dan membatasi penggunaan media sosial selama sesi belajar.

 

Daftar Pustaka

  1. APJII 2024. APJII Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang, https://apjii.or.id/
  2. Kemp, Simon, 2024. Data digital: Indonesia. https://datareportal.com
  3. Thoreau,  Henry David, 1854. Weden. https://www.gutenberg.org/files/205/205-h/205-h.htm
  4. Oxford university Press 2024. ‘Brain rot’ named Oxford Word of the Year. https://corp.oup.com
  5. Tim Medis Siloam Hospitals 2024. Hormon Dopamin (Happy Hormone), Bikin Seseorang Lebih Bahagia, https://www.siloamhospitals.com/
  6. Fisher, Helen dkk. 2006. Romantic love: a mammalian brain system for mate choice. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/
  7. Yuliyanti, Elsi, 2025, Waspada Brain Rot, Ancaman Akibat Konsumsi Konten Online Kualitas Rendah secara Berlebihan. https://dkis.cirebonkota.go.id/
  8. Ahmad Baihaqi, dkk, 2022. Mengurai Paradoks Persepsi dan Stigma Seputar Gen Z. Whiteboard Journal.
  9. Nur Islamiah M. Psi., PhD, 2025 Motivasi Belajar Siswa Menurun Akibat Brain Rot, Psikolog IPB University Beberkan Solusinya. https://www.ipb.ac.id.
  10. Prof. (Dr) Shailesh Mishra, dan Kiran Kumari Mishra. Brain Rot: The Cognitive Decline Associated with ExcessiveUseofTechnology. https://www.ijrpr.com